Sabtu, 19 Januari 2008

Dialog Sekolah dan Orangtua

PENDIDIKAN KELUARGA DENGAN PENDIDIKAN SEKOLAH
DI PERSIMPANGAN JALAN

Oleh St. Djasman

Pendidikan dapat berhasil baik apabila tiga pusat pendidikan dapat berfungsi secara optimal, proporsional, sejalan, dan satu dengan yang lain saling melengkapi. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama untuk menanamkan ilmu pengetahuan dan di masyarakat untuk belajar hidup bermasyarakat.
Ungkapan di atas sangat bagus dan ideal, tetapi sangat sulit untuk dilaksanakan. Di dalam praktek ternyata tidak proporsional, tidak sejalan dan bahkan saling berseberangan. Inilah batu sandungan dalam pendidikan, kalau tidak mau disebut kegagalan. Uraian singkat di bawah ini akan menyoroti masalah-masalah tersebut satu persatu.

Pendidikan Sekolah dan Pendidikan Keluarga Berseberangan
Di sekolah anak dididik untuk mandiri, kerja kelompok untuk mengerjakan tugas dapat dibenarkan asal tidak ada unsur penipuan. Pada waktu ulangan, anak dilarang menyontek dan bekerja sama. Sebaliknya, pendidikan di rumah membuat anak kurang mandiri. Semua keperluan anak sudah disiapkan, sampai hal-hal yang kecil oleh orang tua maupun pembantu. Kesulitan mengerjakan PR dikerjakan oleh orang tua atau guru les.
Di sekolah anak diajari kerja keras dan diberi motivasi agar pekerjaan dapat berhasil dengan baik. Sementara pola asuh di rumah kurang menghargai kerja keras. Anak-anak nyaris bergelimang fasilitas dan kemudahan, semua didapatkan tanpa mengeluarkan keringat. Gaya hidup mereka mendambakan hidup enak tanpa susah-susah bekerja.
Di sekolah anak diperlakukan sama tanpa memandang jenis kelamin, status sosial maupun etnis. Di rumah anak diperlakukan istimewa dan dimanjakan. Anak dilarang bergaul dengan sembarang orang, hanya boleh bergaul dengan orang-orang tertentu saja.

Hubungan Sekolah dan Keluarga tidak Harmonis, sehingga Pola Asuh Berseberangan
Ketika sekolah menyampaikan laporan tentang hasil belajar anaknya kurang baik, orang tua tidak mempercayai laporan itu. Ia tidak mau mengakui kalau anaknya termasuk anak yang kurang. Di rumah anaknya rajin belajar, selalu mengerjakan PRnya.
Ketika orang tua diberitahu tentang kesulitan belajar anaknya, orang tua malah bereaksi keras. Mereka berdalih: masalah belajar kan masalah sekolah dan guru, kok malah dikembalikan kepada orang tua. Itu berarti sekolah tidak peduli kepada anak saya. Guru mengajarnya tidak becus. Orang tua tidak mau menerima laporan-laporan yang kurang baik tersebut, biasanya karena perasaan gengsi yang berlebihan.
Ketika orang tua diberitahu bahwa anaknya punya kebiasaan yang kurang baik, yaitu suka mengambil barang milik teman, seperti, bolpoin, karet penghapus, orang tua marah-marah. Itu tidak mungkin karena anak saya sudah saya penuhi semua kebutuhan sekolah. Itu masalah anak yang suka main-main, masalah kecil saja kok dibesar-besarkan, nanti saya ganti semua. Karena orang tua tidak mau menerima, akhirnya masalah itu tidak tertangani secara baik.
Apabila wali kelas sudah berusaha menyadarkan anak tersebut, tetapi kebiasaan suka mengambil milik teman itu tetap berualang, maka kemungkinan besar ada gangguan kejiwaan.
Pernah terjadi peristiwa seperti berikut. Suatu ketika sekolah melaksanakan program studi wisata ke Jakarta. Program ini dimaksudkan untuk menambah wawasan bagi anak-anak sekaligus sambil rekreasi. Anak tersebut ikut dalam rombongan satu kelasnya bersama teman-temannya.
Pada waktu shoping anak tersebut mengambil barang milik toko tanpa membayar. Anak tersebut ditangkap oleh petugas karena diketahui lewat monitor, dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ketika orang tua diberitahu, orang tua sangat terpukul dan sangat menyesal. Penyesalan yang terlambat.

Pola Pendidikan yang tidak proporsional dan tidak profesional
Peran mendidik anak dilakukan oleh orang tua, sekolah, dan masyarakat sesuai dengan porsi masing-masing. Peran orang tua yang harus memberikan kasih sayang, pendidikan etika dan moral tidak dapat digantikan oleh siapapun. Sekolah sebagai pendidikan formal, mengurusi masalah pengajaran yaitu memberikan bekal ilmu pengetahuan dan ketrampilan. Dewasa ini peran pendidikan itu telah bergeser, dan sekolah telah mengambil alih peran orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama. Oleh karena berbagai macam kesibukan, orang tua menyerahkan sepenuhnya pendidikan anaknya kepada sekolah. Orang tua beranggapan bahwa pendidikan hanya berlangsung disekolah. Mereka lupa bahwa sebagian besar waktu dihabiskan anak dirumah.
Pandangan masyarakat dewasa ini terlanjur salah kaprah bahwa pelaku pendidikan adalah sekolah, sedangkan orang tua sebagai penyandang dana pendidikan. Peran sekolah menjadi sangat besar. Sekolah mempunyai peran sentral dalam dunia pendidikan.
Guru cenderung melakukan diskriminatif atau pilih kasih, anak yang tampan dan cantik yang biasanya pintar dan berasal dari keluarga terpandang mendapatkan perlakuan khusus. Sebaliknya anak yang lusuh dan kumal, biasanya berasal dari keluarga kurang mampu, kurang mendapat perhatian.
Ketika yang datang ke sekolah orang tua dari golongan orang kaya, disambut dengan ramah dan diperlakukan secara istimewa. Sebaliknya kalau yang datang dari kalangan orang tidak mampu, tidak dilayani sendiri dengan berbagai macam alasan, dan dipersilahkan menghadap ke TU.
Kejadian-kejadian seperti tersebut diatas sudah menjadi pandangan umum dalam dunia pendidikan kita, baik di kota-kota besar maupun daerah, baik negeri maupun swasta.

Usaha untuk mengatasi masalah
Pertama, menurut Pater Drost bahwa sekolah selain mendidik anak juga mendidik orang tua. Tugas ini memang sangat berat dan sulit untuk dilaksanakan. Secara sederhana dapat dilakukan melalui pertemuan orang tua murid dengan sekolah. Sekolah memberikan penjelasan kepada orang tua murid bahwa para orang tua hendaknya menyadari tugas mulianya sebagai pendidikan anak yang tidak mungkin tergantikan oleh siapapun dan dengan apapun. Akan menjadi lebih jelas apabila penjelasannya dengan contoh-contoh kongkrit dalam kehidupan.
Kedua, Gema Pius dapat menyediakan rubrik Kontak antara sekolah dan orang tua, atau ruang konsultasi. Orang tua dapat menyampaikan keluhan-keluhan tentang kesulitan pembelajaran anaknya dan sekolah dapat memberikan penjelasan permasalahannya.
Ketiga, membuat buku siswa sebagai penghubung antara orang tua dan wali kelas. Buku ini berisi laporan tentang data-data siswa disekolah yang diisikan oleh wali kelas dan berisi kejadian-kejadian yang terjadi di rumah yang harus diisikan oleh orang tua murid. Dengan buku ini diharapkan terjadi kerja sama yang baik dalam mendidik anak disekolah maupun dirumah.
Keempat, menciptakan komunikasi terbuka. Orang tua jangan menutup-nutupi perilaku anak yang tidak baik dirumah, apalagi ada kelainan. Orang tua harus menanggalkan rasa gengsinya seandainya prestasi belajarnya merosot. Orang tua juga harus lapang dada kalau mendapat laporan dari sekolah bahwa anak suka membolos, tidak mengerjakan tugas, bersikap kurang sopan dan lain-lain. Sebaliknya sekolah juga lapang dada menerima kritik yang membangun dari masyarakat.
Kelima, harap dibaca kembali Gema Pius Edisi XVIII Nopember 2007 hal 10 tentang : Membangun kerja sama yang baik antara sekolah dan orang tua. Disitu di uraikan jawaban dari permasalahan ini. (**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon komentar yang bisa memberikan pengembangan bagi majalah GEMA PIUS ini.