MEMBUMIKAN LAGI PANCASILA
Pancasila adalah dasar negara, yakni dasar semua penyelenggaraan negara. Kenyataannya, tidak semua sadar Pancasila adalah kekuatan pemersatu bangsa yang sudah kehilangan cengkeramannya.
Banyak siswa atau masyara-kat yang tidak hafal sila-sila Pancasila. Banyak pula yang tidak menjadikan Pancasila sebagai azas organisasi politiknya. Hal yang lebih berbahaya, mungkin pula Pancasila sudah tidak dianggap lagi sebagai dasar negara dan dipandang sebelah mata.
Sudah saatnya lagi kita sebagai bangsa kembali ke Pancasila. Membumikan Pancasila di tanah air Indonesia. Pancasila, dasar berpijak untuk mengambil kebijakan kenegaraan dan dalam hidup bermasyarakat sebab sila-sila Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri.
Saya yakin, Pancasila mampu diimplementasikan dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.
THOMAS SUTASMAN SMP Pius Cilacap Jl A Yani 38, Cilacap
Kamis, 11 Desember 2008
PSB
PSB, BUKAN LELANG KURSI
Keprihatinan dalam penerimaan siswa baru (PSB) tahun ini perlu menjadi pelajaran untuk masa yang akan datang. Di banyak sekolah, PSB dilaksanakan tidak ubahnya lelang bangku sekolah.
Dengan nilai ujian nasional murni (NUM) yang tidak mencukupi bisa masuk asal membayar sejumlah uang yang besarnya tidak tanggung- tanggung. Hal itu tidak adil bagi yang ingin masuk dengan nilai pas- pasan tetapi tidak punya uang. Selain itu, bagi yang nilainya tinggi pun tentu khawatir sebab semakin lama kesempatan mengandalkan nilai akan hilang digusur yang mempunyai uang.
Selanjutnya bisa dipertanyakan, sebenarnya pendirian sekolah (negeri) untuk siapa? Untuk pemilik modal atau untuk masyarakat yang kurang mampu yang memang harus dipelihara oleh negara? Dan, PSB menggunakan NUM sungguh menutup kesempatan bagi siswa yang kurang mampu, baik fasilitas belajar maupun biaya.
Tentunya pemerintah (Dinas Pendidikan) lebih arif. Lebih baik secara sederhana bahwa masuk sekolah negeri bukan berdasarkan NUM, tetapi berdasarkan waktu urut pendaftaran sampai kuota di sekolah tersebut dipenuhi. Siapa cepat dia dapat dan harus diawasi sungguh- sungguh. Nantinya tidak ada kebanggaan semu bahwa sekolahnya lulus semua sebab memang inputnya tinggi.
THOMAS SUTASMAN Perum Griya Tritih Asri F6, Jeruklegi, Cilacap
Keprihatinan dalam penerimaan siswa baru (PSB) tahun ini perlu menjadi pelajaran untuk masa yang akan datang. Di banyak sekolah, PSB dilaksanakan tidak ubahnya lelang bangku sekolah.
Dengan nilai ujian nasional murni (NUM) yang tidak mencukupi bisa masuk asal membayar sejumlah uang yang besarnya tidak tanggung- tanggung. Hal itu tidak adil bagi yang ingin masuk dengan nilai pas- pasan tetapi tidak punya uang. Selain itu, bagi yang nilainya tinggi pun tentu khawatir sebab semakin lama kesempatan mengandalkan nilai akan hilang digusur yang mempunyai uang.
Selanjutnya bisa dipertanyakan, sebenarnya pendirian sekolah (negeri) untuk siapa? Untuk pemilik modal atau untuk masyarakat yang kurang mampu yang memang harus dipelihara oleh negara? Dan, PSB menggunakan NUM sungguh menutup kesempatan bagi siswa yang kurang mampu, baik fasilitas belajar maupun biaya.
Tentunya pemerintah (Dinas Pendidikan) lebih arif. Lebih baik secara sederhana bahwa masuk sekolah negeri bukan berdasarkan NUM, tetapi berdasarkan waktu urut pendaftaran sampai kuota di sekolah tersebut dipenuhi. Siapa cepat dia dapat dan harus diawasi sungguh- sungguh. Nantinya tidak ada kebanggaan semu bahwa sekolahnya lulus semua sebab memang inputnya tinggi.
THOMAS SUTASMAN Perum Griya Tritih Asri F6, Jeruklegi, Cilacap
Ujian Nasional
UN SEGALANYA
Ujian nasional (UN) di Indonesia menjadi segala-galanya. Orientasi pembelajaran dari SD sampai SMA adalah ujian nasional. Tidak mengherankan di kelas akhir, kurikulum yang digunakan dipelintir sekolah untuk melatih siswa dengan mata pelajaran UN. Mata pelajaran yang lain hanya sambil lalu.
Hasilnya, pelaksanaan kurikulum di sekolah asal jalan. Mata pelajaran yang tidak termasuk UN dianggap tidak penting. Siswa pun berpendapat serupa. Apakah sekolah salah? Tidak. Selama masih ada UN dan UN digunakan sebagai penentu kelulusan dan peringkat (mutu) sekolah, maka hal di atas akan berlangsung sepanjang tahun. Ada sekolah yang mengajarkan mata pelajaran yang di UN-kan dalam sebulan terakhir sebelum UN. Siswa diberi banyak soal dengan embel-embel latihan soal dan try out.
UN dengan anggaran miliaran rupiah tentunya sangat dinikmati dan dinantikan mereka yang mengagung-agungkan UN sebagai sarana peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Tidak hanya siswa, sekolah pun menjadi korban. Nilai-nilai pendidikan yang seharusnya diperjuangkan sekolah menjadi mentah dan tak berlaku karena UN. Apakah UN akan berlangsung terus? THOMAS SUTASMAN Perum Griya Tritih Asri F6 Jeruklegi, Cilacap
Ujian nasional (UN) di Indonesia menjadi segala-galanya. Orientasi pembelajaran dari SD sampai SMA adalah ujian nasional. Tidak mengherankan di kelas akhir, kurikulum yang digunakan dipelintir sekolah untuk melatih siswa dengan mata pelajaran UN. Mata pelajaran yang lain hanya sambil lalu.
Hasilnya, pelaksanaan kurikulum di sekolah asal jalan. Mata pelajaran yang tidak termasuk UN dianggap tidak penting. Siswa pun berpendapat serupa. Apakah sekolah salah? Tidak. Selama masih ada UN dan UN digunakan sebagai penentu kelulusan dan peringkat (mutu) sekolah, maka hal di atas akan berlangsung sepanjang tahun. Ada sekolah yang mengajarkan mata pelajaran yang di UN-kan dalam sebulan terakhir sebelum UN. Siswa diberi banyak soal dengan embel-embel latihan soal dan try out.
UN dengan anggaran miliaran rupiah tentunya sangat dinikmati dan dinantikan mereka yang mengagung-agungkan UN sebagai sarana peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Tidak hanya siswa, sekolah pun menjadi korban. Nilai-nilai pendidikan yang seharusnya diperjuangkan sekolah menjadi mentah dan tak berlaku karena UN. Apakah UN akan berlangsung terus? THOMAS SUTASMAN Perum Griya Tritih Asri F6 Jeruklegi, Cilacap
Langganan:
Postingan (Atom)