ATU MALIN
Olleh: KESY A D. KARTIKA
Seperti pagi-pagi sebelumnya, pagi ini Malin membantu emaknya mencari kayu bakar di hutan lindung dekat kampungnya. Maklumlah, walau Malin sebenarnya malu juga dengan teman-teman sekolahnya, ia tetap dengan setia, selalu membantu emaknya. Kalau saja ia punya Bapak yang bisa diandalkan, pasti ia habiskan waktunya untuk bermain egrang bersama teman-temannya. Walau ia jago naik egrang, ia selalu menolak ajakan teman-temannya untuk balap egrang. Ia harus tetap mencari kayu bakar bersama emaknya untuk biaya makan dan menabung untuk bayar sekolah.
Sudah tiga hari ini Bapaknya tidak pulang. Ia pergi menginap di tempat Paklik Jo Karyo yang akan punya hajat sunatan adik sepupunya. Walaupun hajatan itu dilaksanakan tiga hari yang akan dating, seperti biasa di kampungnya, beberapa orang sudah siap di rumah yang punya hajat. Bukannya untuk membantu persiapan hajatan, tetapi untuk main ceki atau gaple. Ya, dari situ si empunya hajat akan mendapat cuk (uang komisi dari pemenang judi) yang bisa digunakan sebagai sekedar tambahan biaya hajatan. Tapi, selama ini tidak pernah Malin mendengar Bapaknya menang, mendapat uang banyak dan memberikannya kepada emaknya. Yang selalau terjadi adalah pulang dalam keadaan mabok, marah berat pada emak, membanting perkakas, atau bahkan memukul emak.
Sepulang dari mencari kayu, Malin duduk di lincak (kursi bambu) yang selalu menemaninya saat Malin melambungkan lamunannya. Ingin sekali ia merantau mengubah nasibnya. Terutama ia ingin sekali melunasi hutang-hutang emaknya kepada Pak Sukemi, juragan kayu baker yang selalu membeli kayu bakarnya. Waktu itu emaknya berhutang dua ratus lima puluh ribu untuk modal Bapaknya main ceki. Karena kalah hutang itu hilang dalam semalam. Kemarin hutang lagi dua ratus ribu untuk modal main ceki lagi. Belum lagi hutang-hutang kecil di warung Bu Sabar. Malin menaksir kalau kerja di kota, ia bisa melunasi hutang-hutang itu dengan bekerja empat bulan. Dia sadar kalau gaji yang besar tak mungkin ia peroleh. Apalah daya untuk bekerja. Ia baru lulus SMP desa dan keahliannya hanya mencari kayu bakar dan naik egrang. Gaji sebulan dua ratus ribu sudah lumayan.
“Krompyang! Krompyang!” Lamunan Malin buyar mendengar suara mengejutkan itu. Kaleng kosong karatan itu terlempar dekat lincak Malin.
“Lin, Makmu mana ?” bapaknya muncul terhuyung-huyung. Pasti dia mabok”, batin Malin menduga-duga.
“Lagi di sumur, Pak.”jawab Malin singkat.
“Panggil. Bapak harus cepat panggil lagi”, pinta Bapaknya dengan mata merah memandang tajam Malin.
“Bapak kalah lagi. Kalau bapak main ceki sambil mabok, mana mungkin bisa menang!”
Malin sedikit berkomentar pada Bapaknya. Bapaknya maju mendekati Malin, meraih rambutnya, menjambaknya, menggeret ke dalam sambil berteriak.
“Kamu sudah berani menasehati bapakmu ? Yang aku butuhkan adalah jawaban, dimana emakmu ? Dimana ?” Entah berapa kali kepala Malin terbentur pintu, namun Malin tetap tidak melawan. Andai saja emaknya tidak tergopoh-gopoh datang mendekatinya, Malin pasti babak belur.
“Pak! Sadar pak! Itu anakmu! Mau diapakan ?” Emak menjerit meraih tangan bapak Malin yang mencengkeram erat rambut Malin.
“Aku butuh uang lagi!” jawabnya sambil melotot. Mulutnya bau minuman keras.
“Puihh! Kamu mabok! Sana tidak usah pulang. Makan tuh, ceki!” Emak marah sambil memukul-mukul dengan kepalan tangannya yang mungil ke dada Bapak Malin. Emak menangis sejadi-jadinya.
“Pergi! Tidak usah pulang. Tidak ada lagi duit untuk kamu, pakne! Sana kalau mau ngutang sama Pak Sukemi. Ngutang sendiri! Kembalikan pakai uang judimu itu!”
“Oo, begitu. Baik. Aku akan pergi! Tapi ini piring, makan pakai mulut besarmu itu”, tangan bapak Malin menyambar piring yang tergeletak di meja dan mengangkatnya, menamparkan pada emak Malin. Dengan reflek tangan Malin menepis tangan bapaknya, tetapi belum sempat menepis Malin sudah terkapar ditendang oleh Bapaknya. Bapak Malin pergi meninggalkan Ibu Malin dan Malin yang babak belur, menangis tersedu-sedu.
***
Enam bulan setelah kejadian itu, Malin memutuskan untuk meninggalkan kampungnya. Dengan berbekal ijasah SMP yang baru diraihnya, Malin berpamitan pada emaknya. Emaknya pun hanya menambahi bekalnya dengan tetesan air mata dan doa restu penuh harapan.
Dengan menumpang mobil pengangkut sayur yang melintas di jalan desa, Malin berangkat ke Bogor. Saat Malin sampai di Bogor, Malin sangat takjub melihat gedung-gedung bertingkat dan lalu lintas kota. Malin melihat para gelandangan yang tidur di kolong jembatan. Malin sempat berpikir bahwa ia juga akan bernasib seperti itu jika ia tidak berhasil di kota nanti. “Aku berusaha keras di kota ini”, bisik hati kecilnya.
Saat ini Malin sangat bingung mau ditinggal dimana di kota ini. Saat ia sedang berjalan, ia bertemu dengan pak Bejo seorang tukang ojek.
“Pak, apakah di sekitar sini sudah tidak ada rumah untuk menginap?”
“Maaf, dik. Di sekitar sini sudah tidak ada rumah untuk menginap. Lalu apakah yang adik lakukan di sini.”
Karena kasihan akhirnya Pak Bejo bersedia memberi tumpangan gratis kepada Mali. Tidak hanya itu, pak Bejo juga mencarikan Malin sebuah pekerjaan di bengkel milik teman Mas Bejo. Karena semangat yang menggebu Malin sangat dikagumi pelanggan karena pekerjaannya yang sangat teliti dan memuaskan.
Pada waktu Malin sedang istirahat makan siang. Terjadi sebuah kecelakaan di depan Malin bekerja. Ternyata korban kecelakaan itu adalah seorang wanita yang sangat cantik.
“Terima kasih, Mas. Mas sudah mau membantu saya!” kata wanita itu serta merta setelah Malin menolongnya.
“Ya..sama-sama, Mba”
“Oh…kalau begitu ini kartu nama saya, mas. Kalau mas butuh sesuatu silakan datang saja ke alamat ini. Mas malin juga bisa bekerja di kantor ayah saya?”
“Ehm…saya piker-pikir dulu saja mba. Nanti saya akan datang ke rumah mba.”
Malin berpikir apakah ia harus menerima tawaran ini atau tidak. Ia putuskan menerima tawaran ini karena ia ingin cepat mengumpulkan uang. Sore harinya Malin datang ke rumah Rinda. Ternyata ayah Rinda adalah seorang pengusaha yang sukses. Malin ditawari menjadi seorang karyawan, Malin pun menyanggupinya.
***
Singkat kata dan singkat cerita Malin tumbuh menjadi pegawai yang sangat berprestasi. Dan bagaikan kejatuhan bulan, Rindapun jatuh cinta pada Malin. Ayah Rinda juga sangat kagum pada Malin, hingga ia sangat mnenyetujui ketika Malin mengajukan sebuah permohonan.
“Begini, Pak. Saya ingin menyampaikan bahwa saya ingin meminang Rinda. Apakah Bapak setuju jika saya menikahi Rinda?”
“Apakah kamu sudah pikir masak-masak segala akibatnya?”
Malin berusaha menguatkan hatinya dengan dada yang tergetar. Ia sangat takut kalau ia akan mendapat marah besar karena kenekatannya ini. Malin hanya berani mengangguk penuh harap cemas.
“Baiklah Malin. Saya setuju karena saya piker kamu adalah lelaki yang cocok untuk Rinda dan pesan saya jagalah Rinda baik-baik”.
“Baik, Pak. Terima kasih.”
Hari pernikahan Malin dan Rinda yang segera dirancang pun tiba. Acara pernikahan Malin dan Rinda diselenggarakan dengan sangat meriah. Malin dan Rinda sangat bahagia.
***
Suatu hari ayah Rinda berkata kepada Malin.
“Malin, kamu harus pergi ke desa dan membangun sebuah proyek disana!”
“Apakah tidak bisa orang lain saja yang pergi ayah?”
“Maaf Malin tidak bisa. Ini proyek besar dan menurut ayah kamulah yang sanggup untuk mengerjakan proyek ini.”
“Baiklah ayah, Malin akan membicarakan hal ini dengan Rinda.”
***
Emak Malin setiap hari menunggu kepulangan Malin anaknya. Emak Malin sangat rindu pada anaknya. Ia ingin memeluk Malin dan berbincang-bincang dengan anaknya itu. Suatu hari emak Malin mendengar bahwa ada pengusaha kaya yang akan dating dan membangun sebuah proyek. Emak Malin berharap Malin menjadi salah satu pegawainya.
Malin dan istrinya sampai di desa itu. Dan pada saat berkeliling. Sekelebat emak Malin melihat mereka. Emak Malin terperangah, “Itukah Malin?”
“Anakku, sudah berhasil kau rupanya, Nak! Mengapa kau tidak pernah mengunjungi Ibumu ini, Nak.”
“Heh, siapa kamu mengaku-ngaku akau sebagai anakmu. Aku bukan anakmu!”
Emak Malin sangat kaget mendengar perkataan Malin, hati emak Malin tersayat pedih mendengar perkataan anaknya itu. Namun, emak Malin belum menyerah.
“Nak, benarkah kau tidak ingat siapa aku. Aku ini ibumu, nak! Ibu yang melahirkan dan merawatmu sampai kau dewasa. Aku tahu pasti kau memiliki sebuah bekas luka di kepalamu. Itu adalah bekas luka waktu kau dipukuli oleh ayahmu.”
Heh, dengar ya! Aku bukan anakmu. Dan aku juga tidak sudi memiliki ibu seperti kamu!”
Malin segera mengajak istrinya untuk kembali ke Bogor.
“Mas, siapa wanita tadi?”
“Sudahlah Rin. Dia bukan siapa-siapa!” Seketika itu, petir menyambar persis di depan mobil Malin yang melaju kencang. Sekelebat Malin melihat wajah emaknya yang dengan keras ia tabrak. Wanita tua itu terpental penuh luka. Mobil Malin oleng dan menabrak sebuah batu yang sangat besar. Ia meregang nyawa. Tanpa menghiraukan luka-lukanya Rinda mendekap Malin di himpitan ringsek mobilnya.
“Rin. Wanita tadi adalah emakku. Aku malu mengakui dihadapanmu.”
“Mengapa kamu malu ? Malin! Malin!” Rinda berteriak keras melihat Malin tersengal-sengal.
“Rin, aku minta padamu. Jadikan batu besar itu nisanku. Biarlah orang yang melihat kuburku akan mengenang kerasnya hatiku yang seperti batu, tidak mengakui ibuku sendiri. Dan nisan itu kelak akan disebut Batu Malin.
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon komentar yang bisa memberikan pengembangan bagi majalah GEMA PIUS ini.