Senin, 10 September 2007

Artikel pendidikan


Mencari Guru Kontruktivis

oleh : Thomas Sutasman

Pendidikan Indonesia, mendapat sorotan yang tajam. Betapa tidak? Indonesia dibanding dengan negara-negara ASEAN hanya unggul dengan Myanmar dan Kamboja, lainnya di atas negara kita, itu menurut Human Development Index (HDI) dan dalam lomba TIMS, lomba pemahaman matematika tingkat kelas 8. Tentunya kita prihatin.

Hal yang masih menjadi ciri prasis pendidikan di Indonesia selama ini adalah pembelajaran berpusat pada guru. Masih ada guru mengajar di kelas secara linear. Pembelajarannya berorientasi sangat ketat pada kurikulum. Satu-satunya model pembelajaran yang digunakan guru adalah ceramah. Siswa tidak boleh ramai. Siswa tidak boleh bergerak sedikit pun dari tempat duduk. Murid harus diam mendengarkan penjelasan guru. Akibatnya, siswa menjadi terbelenggu. Siswa menjadi tidak aktif dalam belajar. Paradigma ini yang harus di ubah.
Maka, salah satu cara memperbaiki kualitas pendidikan kita adalah dengan jalan perbaikan proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang dituju tidak lain adalah pembelajaran yang bermakna.

Diilhami oleh filsafat kontruktivisme, maka paradigma pembelajaran yang biasanya mengarah indoktrinatif perlu diubah. Filsafat kontruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan itu dikontruksi secara aktif oleh mereka yang sedang mengetahui. Dengan demikian, tugas guru bukan sekadar mengajarkan ilmu semata kepada siswa, tetapi membantu siswa belajar. Tekanan pembelajarannya harus pada aktivitas siswa untuk belajar, aktif secara mental maupun fisis. Tugas guru adalah memfasilitasi siswa dalam belajar (Marpaung, 1999).
Pembelajaran yang bermakna tidak hanya sekedar transfer pengetahuan dari guru ke siswa saja dengan model bank. Pembelajaran harus mengarah paradigma pembelajaran yang baru. Siswa dan guru dapat belajar bersama. Menurut Suparno dkk (2002), dalam pembelajaran yang bermakna perlu ada dua aktivitas, yakni aktif dalam kegiatan berpikir dan aktif dalam berbuat. Artinya, perbuatan nyata siswa dalam pembelajaran merupakan hasil keterlibatan berpikir siswa terhadap obyek belajar dan pengalaman hasil perbuatan siswa itu sendiri, untuk diolah dalam kerangka berpikir dan pengetahuan yang dimilikinya.

Menurut paradigma baru tersebut peran guru harus diubah. Guru tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada para siswanya, tetapi harus mampu menjadi mediator dan fasilitator. Tugas guru adalah (1) Menyediakan pengalaman belajar yang memeungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu memberi ceramah bukanlah tugas utama seorang guru. (2) Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik .

(3) Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran si siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa. (4) Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal, diperlukan beberapa kegiatan yang perlu dikerjakan dan juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh pengajar.

(5) Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan. (6) Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa sungguh terlibat. (7) Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga di tengah pelajar. (8) Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar. (9) Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru. (Sutarto Hadi, 2007)

Banyak model pembelajaran yang dapat mendukung tercapainya pembelajaran yang bermakna. Guru bisa menyesuaikan dengan berbagai model pembelajaran mana yang sesuai dengan materi pembelajaran. Apabila guru dalam proses pembelajarannya mencerminkan sembilan tugas di atas, maka guru tersebut merupakan guru yang kontruktivis.

Jadi dengan pembelajaran yang bermakna diharapkan siswa dapat membangun pengetahuan sesuai konteksnya, dengan cara yang aktif dan kreatif, dan sesuai kebutuhan siswa. Hal itu hanya terjadi bila gurunya adalah guru yang kontruktivis. Sehingga diharapkan siswa nantinya dapat menerapkan pengetahuannya untuk membangun pengetahuan selanjutnya, atau siswa menggunakan pengetahuannya dalam kehidupannya.

Tentunya hal ini sejalan dengan pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Untuk itu, peluang suatu sekolah untuk menyumbang perbaikan mutu pendidikan Indonesia menjadi lebih baik sangatlah besar, yakni dengan pembelajaran yang bermakna dan dengan guru yang kontruktivis. (dari berbagai sumber) (dimuat di Radar Banyumas, 14 Mei 2007)