Rabu, 09 Juli 2008
Pendidikan Nilai
Membangun Kembali Pendidikan Nilai di Sekolah
oleh : Thomas Sutasman
Dengan adanya arus globalisasi sekarang ini yang cepat, dibarengi merosotnya nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat, tugas guru menjadi berat. Beberapa keprihatinan pada buah-buah dunia pendidikan akhir-akhir ini sungguh memalukan. Masih kita ingat anak sekolahan yang ikut geng-geng motor atau geng-geng lainnya sehingga mengakibatkan kekerasan seperti di Bandung dan di Pati. Di media massa kita bisa melihat demo anarkis yang merugikan orang lain dengan pelaku melakukan pengrusakan sambil tertawa-tawa tanpa dosa. Banyak gosip yang beredar bahwa banyak sekolah melakukan kecurangan Ujian Nasional (UN) dengan trik membiarkan siswa pintar menulis jawaban di WC sekolah dan yang lain mencontek di WC dan pengawasan UN yang sudah dibuat longgar. Belum lagi deretan panjang peristiwa lain yang sungguh menyesakkan dada.
Dari peristiwa-peristiwa kasuistis di atas, dunia pendidikan dapat dikatakan dalam lampu kuning. Sebab, inti dari pendidikan, yaitu usaha sadar untuk mengedepankan penanaman nilai-nilai kemanusiaaan, mulai terkoyak. Dapat dikatakan juga bahwa pendidikan telah kehilangan ruh-nya.
Pendidikan nilai
Nilai-nilai pendidikan telah ditinggalkan oleh sekolah demi kepentingan sesaat dan prestise semu. Misalnya, agar lulus seratus persen banyak cara ditempuh dengan mencari celah-celah peraturan. Nah, apakah nilai itu? Nilai merupakan hakikat sesuatu yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia. Menurut Bertens, nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan. Singkatnya, nilai itu sesuatu yang baik. Sedangkan menurut Max Scheler bahwa nilai adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lain. (Suparno, 2002: 75-76). Kesimpulannya, nilai merupakan hal yang dipilih, dikejar, dihargai, diperjuangkan, dan dipraktekan (mendasari tingkah laku) dalam hidup.
Tingkatan nilai tersusun dari yang rendah ke yang tinggi (luhur), yakni nilai kenikmatan, nilai kehidupan, nilai kejiwaan, dan nilai kerohanian. Nilai adalah anugerah Tuhan. Manusia hanya dapat menemukan, memahami, menghayati, dan mewujudkannya dalam kehidupan nyata.
Dalam ranah pelaksanaan di sekolah, pendidikan akan nilai-nilai tersebut di atas diselenggarakan bukan dengan indoktrinasi belaka, yakni mementingkan budi-pikiran, namun harus dengan hati, yakni melalui penghayatan atau pengalaman nyata.
Oleh karena itu, tugas guru semakin berat. Guru tidak sekedar lagi mengajar, namun sekaligus mendidik. Menurut Drost (2005) bahwa pengajaran guru yang sangat baik, maka seorang guru mendidik siswanya menjadi pintar dan baik. Dalam pembelajaran di kelas, tugas guru adalah mentranformasikan ilmu pengetahuan kepada siswa. Dimana guru merupakan “pembantu” orang tua dalam hal pengajaran.
Mendidik siswa berarti memberikan ruang untuk refleksi sekaligus teladan guru kepada peserta didik agar menyadari, menghayati, dan menemukan nilai-nilai hidup. Selanjutnya diharapkan, siswa dapat bertindak sesuai dengan nilai-nilai kehidupan.
Jalan keluar
Tidak bisa tidak, guru ikut bertanggung jawab terhadap hal pendidikan nilai siswa. Cara yang sekaligus bisa dijalankan, pertama, seperti dinyatakan Drost, adalah mengintegrasikan dalam setiap mata pelajaran. Nilai-nilai kehidupan perlu diselipkan dalam materi pembelajaran.
Selama ini, pembelajaran di kelas hanya sampai pada taraf fakta atau konsep, belum pada taraf nilai. Pada taraf fakta, pembelajaran hanya menyampaikan informasi-informasi, kejadian-kejadian, dan fakta-fakta. Pada taraf konsep, guru dan peserta didik mencari prinsip-prinsip yang ada dibalik fakta. Padahal seharusnya sudah menuju pada taraf nilai. Peserta didik dibimbing untuk mengkaitkan fakta dan konsep-konsep yang dipelajari dalam pembelajaran dengan kepentingan hidupnya. Yang ditekankan adalah kehidupan pribadi peserta didik (Sinurat : 2005).
Kedua, lewat kegiatan ekstrakurikuler atau kegiatan pengembangan diri siswa, seperti problem solving (menghadapkan siswa pada masalah konkret), reflective thinking (secara pribadi atau kelompok dihadapkan pada artikel/ berita untuk memberikan tanggapan), group dynamic (siswa berkelompok untuk mengerjakan suatu proyek tertentu), community building( membangun komunitas mini dengan aturan atau tugas yang diatur sendiri secara demokratis), responsibility building (siswa diberi tugas konkret dan mempertanggungjawabkannya secara jujur), picnik ( kegiatan santai diluar sekolah, tidak harus mahal), camping study, retret atau gladi rohani (untuk mengolah kehidupan rohaninya), dan live-in( tinggal dan hidup bersama di tengah rakyat kecil dalam waktu tertentu).
Ketiga, lewat keteladanan guru. Guru di sekolah bukan harus menjadi guru yang super, namun yang terpenting adalah guru yang konsekuen dengan nilai yang diajarkan. Guru adalah manusia, maka guru jug aboleh salah atau keliru, asal berani mengakuinya dan mempertanggungjawabkannya.
Guru diharapkan dapat menjadi teladan dalam semua nilai kebaikan yang diajarkan mereka. Menurut Suparno (2004), dalam bukunya Guru Demokratis di Era Reformasi, beberapa nilai yang perlu ditekankan dalam keteladanan guru, yakni nilai demokrasi, nilai kejujuran, nilai disiplin, penghargaan hak asasi orang, teladan dalam keterbukaan dan kerja sama, rasionalitas, hidup bermoral dan beriman, nilai sosial, nilai tanggung jawab, nilai daya juang, dan semangat terus belajar.
Membangun dan mengembangkan pendidikan nilai di sekolah tidak serta merta bisa ”dipanen” seketika, seperti ujian nasional. Sebab, seperti dikatakan Mardiatmadja (dalam Widiastono, 2004), bahwa pendidikan nilai memberikan penyadaran menyeluruh agar manusia belajar menjadi diri sendiri dengan menjadi berkat bagi sesama dalam interpendensi yang bermuara pada bhakti kepada Tuhan. Jadi pembelajaran akan lebih bermakna pada siswa, bila prosesnya menyentuh hidup siswa dengan mengintegrasikan pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya. (*)
Sumber bacaan :
Kaswardi, EM.K.1993. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: Grasindo
Mardiatmadja, BS. 1986. Tantangan Dunia Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius
Suparno, Paul. 2005. Guru Demokratis di Era Reformasi. Jakarta: Grasindo
Suparno, Paul (dkk). 2002. Reformasi Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius
Suparno, paul (ed). 2001. Problematika Manusia Indonesia. Yogyakarta: Penerbitan USD
Widiastono, Tonny D. 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Kompas
oleh : Thomas Sutasman
Dengan adanya arus globalisasi sekarang ini yang cepat, dibarengi merosotnya nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat, tugas guru menjadi berat. Beberapa keprihatinan pada buah-buah dunia pendidikan akhir-akhir ini sungguh memalukan. Masih kita ingat anak sekolahan yang ikut geng-geng motor atau geng-geng lainnya sehingga mengakibatkan kekerasan seperti di Bandung dan di Pati. Di media massa kita bisa melihat demo anarkis yang merugikan orang lain dengan pelaku melakukan pengrusakan sambil tertawa-tawa tanpa dosa. Banyak gosip yang beredar bahwa banyak sekolah melakukan kecurangan Ujian Nasional (UN) dengan trik membiarkan siswa pintar menulis jawaban di WC sekolah dan yang lain mencontek di WC dan pengawasan UN yang sudah dibuat longgar. Belum lagi deretan panjang peristiwa lain yang sungguh menyesakkan dada.
Dari peristiwa-peristiwa kasuistis di atas, dunia pendidikan dapat dikatakan dalam lampu kuning. Sebab, inti dari pendidikan, yaitu usaha sadar untuk mengedepankan penanaman nilai-nilai kemanusiaaan, mulai terkoyak. Dapat dikatakan juga bahwa pendidikan telah kehilangan ruh-nya.
Pendidikan nilai
Nilai-nilai pendidikan telah ditinggalkan oleh sekolah demi kepentingan sesaat dan prestise semu. Misalnya, agar lulus seratus persen banyak cara ditempuh dengan mencari celah-celah peraturan. Nah, apakah nilai itu? Nilai merupakan hakikat sesuatu yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia. Menurut Bertens, nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan. Singkatnya, nilai itu sesuatu yang baik. Sedangkan menurut Max Scheler bahwa nilai adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lain. (Suparno, 2002: 75-76). Kesimpulannya, nilai merupakan hal yang dipilih, dikejar, dihargai, diperjuangkan, dan dipraktekan (mendasari tingkah laku) dalam hidup.
Tingkatan nilai tersusun dari yang rendah ke yang tinggi (luhur), yakni nilai kenikmatan, nilai kehidupan, nilai kejiwaan, dan nilai kerohanian. Nilai adalah anugerah Tuhan. Manusia hanya dapat menemukan, memahami, menghayati, dan mewujudkannya dalam kehidupan nyata.
Dalam ranah pelaksanaan di sekolah, pendidikan akan nilai-nilai tersebut di atas diselenggarakan bukan dengan indoktrinasi belaka, yakni mementingkan budi-pikiran, namun harus dengan hati, yakni melalui penghayatan atau pengalaman nyata.
Oleh karena itu, tugas guru semakin berat. Guru tidak sekedar lagi mengajar, namun sekaligus mendidik. Menurut Drost (2005) bahwa pengajaran guru yang sangat baik, maka seorang guru mendidik siswanya menjadi pintar dan baik. Dalam pembelajaran di kelas, tugas guru adalah mentranformasikan ilmu pengetahuan kepada siswa. Dimana guru merupakan “pembantu” orang tua dalam hal pengajaran.
Mendidik siswa berarti memberikan ruang untuk refleksi sekaligus teladan guru kepada peserta didik agar menyadari, menghayati, dan menemukan nilai-nilai hidup. Selanjutnya diharapkan, siswa dapat bertindak sesuai dengan nilai-nilai kehidupan.
Jalan keluar
Tidak bisa tidak, guru ikut bertanggung jawab terhadap hal pendidikan nilai siswa. Cara yang sekaligus bisa dijalankan, pertama, seperti dinyatakan Drost, adalah mengintegrasikan dalam setiap mata pelajaran. Nilai-nilai kehidupan perlu diselipkan dalam materi pembelajaran.
Selama ini, pembelajaran di kelas hanya sampai pada taraf fakta atau konsep, belum pada taraf nilai. Pada taraf fakta, pembelajaran hanya menyampaikan informasi-informasi, kejadian-kejadian, dan fakta-fakta. Pada taraf konsep, guru dan peserta didik mencari prinsip-prinsip yang ada dibalik fakta. Padahal seharusnya sudah menuju pada taraf nilai. Peserta didik dibimbing untuk mengkaitkan fakta dan konsep-konsep yang dipelajari dalam pembelajaran dengan kepentingan hidupnya. Yang ditekankan adalah kehidupan pribadi peserta didik (Sinurat : 2005).
Kedua, lewat kegiatan ekstrakurikuler atau kegiatan pengembangan diri siswa, seperti problem solving (menghadapkan siswa pada masalah konkret), reflective thinking (secara pribadi atau kelompok dihadapkan pada artikel/ berita untuk memberikan tanggapan), group dynamic (siswa berkelompok untuk mengerjakan suatu proyek tertentu), community building( membangun komunitas mini dengan aturan atau tugas yang diatur sendiri secara demokratis), responsibility building (siswa diberi tugas konkret dan mempertanggungjawabkannya secara jujur), picnik ( kegiatan santai diluar sekolah, tidak harus mahal), camping study, retret atau gladi rohani (untuk mengolah kehidupan rohaninya), dan live-in( tinggal dan hidup bersama di tengah rakyat kecil dalam waktu tertentu).
Ketiga, lewat keteladanan guru. Guru di sekolah bukan harus menjadi guru yang super, namun yang terpenting adalah guru yang konsekuen dengan nilai yang diajarkan. Guru adalah manusia, maka guru jug aboleh salah atau keliru, asal berani mengakuinya dan mempertanggungjawabkannya.
Guru diharapkan dapat menjadi teladan dalam semua nilai kebaikan yang diajarkan mereka. Menurut Suparno (2004), dalam bukunya Guru Demokratis di Era Reformasi, beberapa nilai yang perlu ditekankan dalam keteladanan guru, yakni nilai demokrasi, nilai kejujuran, nilai disiplin, penghargaan hak asasi orang, teladan dalam keterbukaan dan kerja sama, rasionalitas, hidup bermoral dan beriman, nilai sosial, nilai tanggung jawab, nilai daya juang, dan semangat terus belajar.
Membangun dan mengembangkan pendidikan nilai di sekolah tidak serta merta bisa ”dipanen” seketika, seperti ujian nasional. Sebab, seperti dikatakan Mardiatmadja (dalam Widiastono, 2004), bahwa pendidikan nilai memberikan penyadaran menyeluruh agar manusia belajar menjadi diri sendiri dengan menjadi berkat bagi sesama dalam interpendensi yang bermuara pada bhakti kepada Tuhan. Jadi pembelajaran akan lebih bermakna pada siswa, bila prosesnya menyentuh hidup siswa dengan mengintegrasikan pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya. (*)
Sumber bacaan :
Kaswardi, EM.K.1993. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: Grasindo
Mardiatmadja, BS. 1986. Tantangan Dunia Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius
Suparno, Paul. 2005. Guru Demokratis di Era Reformasi. Jakarta: Grasindo
Suparno, Paul (dkk). 2002. Reformasi Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius
Suparno, paul (ed). 2001. Problematika Manusia Indonesia. Yogyakarta: Penerbitan USD
Widiastono, Tonny D. 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Kompas
Langganan:
Postingan (Atom)